Apa yang Dicari dari Makanan?
Saya ingin mengajak kamu dan kita semua untuk berpikir sejenak dan sedikit berkhayal tentang makanan. Ketika membeli suatu makanan atau hidangan, sebenarnya apa sih yang kita cari? (jawab dengan jujur, ya). Makanan tersebut yang nantinya akan masuk ke dalam perut kita bukan? Misal : lagi pengen makan bakso, jadi kita tentunya akan mencari penjual bakso untuk memuaskan permintaan si perut. Kemudian ada tambahan lagi, baksonya mau bakso Malang, yang biasa mangkal di samping parkiran kampus, misalnya. Pernahkah kamu dihantui keinginan semacam ini? Apa malah sering? Kebanyakan orang yang saya temui pasti memiliki jenis makanan favorit, dan ternyata dari makanan favorit mereka masih ada embel-embelnya, kadang-kadang. Misal : suka makan bubur ayam, terutama Bubur Ayam Barito. Kenapa harus begini ya? Kalau saya pribadi dan saya juga yakin, bahwa embel-embel itu bisa muncul, karena sudah ada ‘hati’ dan ‘chemistry’ pada makanan dengan brand tersebut. Bicara soal hati yang diberikan kepada makanan, pasti semua setuju bahwa RASA adalah nomor satu. Nah, kadang-kadang besarnya ‘chemistry’ ini bahkan membuat beberapa dari kita yang lagi kepengen banget sama suatu makanan, tapi jauh alias lokasinya tak terjangkau, jadi nge-tweet tentang itu. “Duh, lagi pengen banget makan Sate ...”. Ayo, ngaku! (karena saya juga begitu).
Saya ingin mengajak kamu dan kita semua untuk berpikir sejenak dan sedikit berkhayal tentang makanan. Ketika membeli suatu makanan atau hidangan, sebenarnya apa sih yang kita cari? (jawab dengan jujur, ya). Makanan tersebut yang nantinya akan masuk ke dalam perut kita bukan? Misal : lagi pengen makan bakso, jadi kita tentunya akan mencari penjual bakso untuk memuaskan permintaan si perut. Kemudian ada tambahan lagi, baksonya mau bakso Malang, yang biasa mangkal di samping parkiran kampus, misalnya. Pernahkah kamu dihantui keinginan semacam ini? Apa malah sering? Kebanyakan orang yang saya temui pasti memiliki jenis makanan favorit, dan ternyata dari makanan favorit mereka masih ada embel-embelnya, kadang-kadang. Misal : suka makan bubur ayam, terutama Bubur Ayam Barito. Kenapa harus begini ya? Kalau saya pribadi dan saya juga yakin, bahwa embel-embel itu bisa muncul, karena sudah ada ‘hati’ dan ‘chemistry’ pada makanan dengan brand tersebut. Bicara soal hati yang diberikan kepada makanan, pasti semua setuju bahwa RASA adalah nomor satu. Nah, kadang-kadang besarnya ‘chemistry’ ini bahkan membuat beberapa dari kita yang lagi kepengen banget sama suatu makanan, tapi jauh alias lokasinya tak terjangkau, jadi nge-tweet tentang itu. “Duh, lagi pengen banget makan Sate ...”. Ayo, ngaku! (karena saya juga begitu).
Sayangnya, meskipun RASA adalah
komponen utama dalam makanan dan hidangan, Nona satu ini mulai terancam oleh
Nona lain yang mungkin lebih gaul, namanya Nona SUASANA. (SUASANA ya, bukan
Susana). Sekarang banyak restoran baru
bermunculan yang berusaha menjual dan ‘menendang’ dengan mengedepankan faktor
selain RASA, misalnya : interior tempat makan, WiFi gratis, dll. Dan ajaibnya,
tendangan di sudut ini laku, lho! Orang yang mau makan bisa ‘kepincut’ sama hal
lain selain makanannya!
Photo taken from : list.co.uk |
Padahal, tujuan orang mencari tempat makan seharusnya
memang untuk makan bukan? Hmm, trend gaul masa kini membuat pikiran banyak
orang berkata lain. Ada yang bilang, saya mau makan di tempat A karena
tempatnya bagus, jadi kalau foto-foto diupload ke Facebook pasti teman-teman
saya akan bertanya-tanya, terus memberikan komentar disertai ‘LIKE’. Ada juga
yang bilang, saya mau makan di tempat B karena WiFi nya kencang, terus sofanya
nyaman, jadi bisa sambil mengerjakan tugas kuliah/kantor. Wow, motifnya sangat
urban ya? Apa kamu juga pernah begitu? Iya juga nggak apa-apa, kok. Saya waktu
dulu kuliah juga pernah begitu, maklum, anak kuliahan yang sedang butuh banyak
browsing untuk tugas.
Menengok ke Belakang : Kesederhanaan dan Esensi Aktivitas Kuliner
Nah, sekarang saya akan mengajak
kamu untuk berpikir lebih simpel dan kembali ke nilai ‘Authentic Indonesia’ di
masa lampau, beberapa tahun sebelum tempat makan berdesain cantik berbau
westernisasi dengan bonus layar raksasa dan internet gratis muncul. Pernahkah
kamu ngefans sama suatu makanan yang menurutmu tempatnya sederhana banget tapi
RASAnya ngangenin banget? Kalau saya pribadi sih pernah, dan nggak usah
menengok ke tahun-tahun lalu, sampai sekarang pun ketika sudah banyak restoran
berdesain super cantik, saya masih ngefans kok sama beberapa makanan yang
suasana tempat makannya sederhana, tapi rasanya cetar membahana. Makanan
tersebut adalah kuliner asli Indonesia, yang disajikan dengan nilai dan suasana
sangat Indonesia. Dan saya bangga kalau saya ngefans sama makanan tersebut.
Saya nggak malu, lho, buat nongkrong di situ lama, ke gap temen kantor, bos, ataupun gebetan. Foto-foto di situ, kemudian
fotonya di upload di Facebook juga saya bangga.
Kalau bagi saya, masalah LIDAH
itu tidak bisa digantikan dengan warna-warni dan dekorasi WAH. Di Indonesia, sangat
banyak makanan ‘pinggir jalan’ alias street food yang rasanya enak, bahkan
melegenda sampai luar daerah. Beberapa dari street
food ini memiliki nilai historis yang menarik (tidak sedikit yang sudah berdiri selama puluhan tahun dan mengandalkan resep turun temurun) dan value RASA yang ditawarkannya susah
untuk ditandingi oleh restoran mewah dengan fasilitas dan dekorasi tercantik
sekalipun. Ibaratnya, rasa enak yang ditawarkan oleh street food dengan suasana dan tempat ‘ala kadarnya’ ini adalah
INNER BEAUTY. Pasti banyak yang naksir, dan naksirnya akan bertahan lama, plus
ngangenin juga, plus susah cari penggantinya. Mereka memberikan kualitas dalam berdaya saing tinggi dibalut dengan suasana unik yang sulit untuk dilupakan (dari atap, meja, kursi, tiupan angin, dan hiburan penyanyi jalanan). Berbeda dengan restoran berkelas
atas yang rasa masakannya sebenarnya biasa-biasa saja tapi suasananya cantik.
Dia cantik memang, tapi luarnya saja. Mungkin lima tahun kemudian, kita yang
tadinya rajin nongkrong di situ dan bergaul sambil buka laptop bareng
teman-teman akan lupa dengan ‘kecantikan’ restoran tadi. Ya, karena hanya
cantik di luar saja. Dan restoran yang lebih cantik luarnya, pasti akan terus
bermunculan. Ibaratnya, tidak ada chemistry
yang nempel di hati. Eits, tapi jangan salah, sekarang banyak lho street food di Indonesia yang canggih, misal ada WiFi nya dan bikin anak-anak kuliahan betah nongkrong di situ. Street food gaul itu bisa ditemukan beberapa di Yogyakarta, misalnya : Angkringan Kobar di daerah Kridosono. Mantap kan?
Coba diingat-ingat, sekarang
ketika kita memamerkan pengalaman makan ke orang lain, apa sih yang kita
pamerkan? Nama restorannya yang terkenal? Rasanya yang enak? Atau suasananya
(plus harganya) yang kalau dideskripsikan kira-kira bikin pendengar jadi
mupeng? Sebenarnya, ketika orang bercerita ke orang lain akan pengalaman makan,
yang dia share berdasarkan tingkat
kepuasan. Ada yang kepuasannya kalau mendapatkan makanan yang benar-benar enak
di kategorinya, ada yang puas kalau bisa makan di tempat dengan kategori mewah
sehingga (mungkin) akan mengangkat derajat mereka yang bercerita, ada juga yang
puas kalau habis makan di tempat makan baru buka yang ternyata menarik dan ia
ingin berbagi ‘rahasia’ tersebut ke orang lainnya.
Street Food, Kuliner Kebanggaan Indonesia yang Melegenda
Meskipun beberapa dari kita (terutama yang bergaya hidup urban) terkadang merasa malu, enggan, atau bahkan tidak berselera makan di warung pinggir jalan alias street food, tempat makan ini justru adalah salah satu ciri khas Indonesia yang bisa dibanggakan, lho. Banyak turis dari mancanegara yang menuliskan pengalaman menariknya menyantap makanan di warung pinggir jalan Indonesia. Kalau pernah baca, coba perhatikan, pasti yang diceritakan pertama adalah jenis makanannya, kemudian RASA nya, kemudian baru tentang suasananya, lokasi, penjual, harga, dll. Indonesia itu kaya akan jenis kulinernya yang beragam dan unik, dari soto, martabak, gado-gado, ayam penyet, sampai sekoteng. Kalau kita perhatikan, dari jenis-jenis kuliner asli Indonesia tersebut, yang tersohor dan jadi legenda banyak yang 'penampilannya' sederhana, lho, cuma modal mangkal di pinggir jalan, tapi namanya tidak berhenti sampai di ujung jalan.
Inner Beauty Makanan, Pemacu Chemistry
Saya akan bercerita sedikit
tentang bagaimana inner beauty dari
street food tertentu di Indonesia membuat saya rindu dan setia, barangkali
beberapa dari kamu juga pernah merasakannya. Saya berasal dari Yogyakarta, tapi
sudah lima tahun terakhir ini saya tinggal di Jakarta. Kalau boleh dibilang,
Jakarta adalah kota di mana makanan dari hampir semua daerah di Indonesia dapat
ditemukan. Ya, karena banyak pedagang dari luar Jakarta yang mengadu nasib ke
Jakarta, dan mereka mengandalkan warisan sekaligus komoditas daerahnya
masing-masing. Entah mengapa, terkadang saya teringat akan warung bakmi Jawa di
dekat rumah saya di Yogyakarta. Meskipun beralaskan trotoar dan beratapkan tenda, warung ini sangat ramai, dan
pengunjung bisa datang dari tempat yang cukup jauh. Mengapa? Karena inner beauty alias RASA yang ditawarkan
warung ini sangat membekas, baik di lidah, maupun di hati.Tentunya hati saya juga telah berhasil terkena serangan. Kalau sudah membekas
di dalam, ya masa nggak kangen?
Mempelajari Masyarakat melalui Street Food
Untuk memahami suatu kota atau
Negara, pemahaman akan bagaimana gaya hidup mayoritas penduduknya, dan apa saja
topik yang mereka bicarakan itu perlu. Indonesia itu Negara berkembang di Asia,
banyak penduduknya yang bergaya hidup sederhana, meskipun jumlah mall kian
bertambah. Berbicara tentang kesederhanaan, ketika menikmati sajian di warung
pinggir jalan, coba rasakan suasananya. Bagaimana para pengunjung dapat duduk
santai, bercakap-cakap, dan makan tanpa mempedulikan table manner serta kendaraan lalu lalang saking menikmati kelezatan
hidangan yang memuaskan rasa lapar mereka. Terkadang ada pula pengunjung setia
yang sudah akrab dengan pemilik warung dan mereka banyak bercerita satu sama
lain.
Perhatikan bagaimana pengunjung rela mengantre cukup lama sambil berdiri tanpa atap
yang melindungi kepala mereka, bagaimana ekspresi wajah pengunjung yang baru
datang yang kecewa ketika apa yang mereka pesan ternyata sudah habis. Mereka
rela karena mereka sudah terikat chemistry
yang berawal dari inner beauty, yaitu
RASA yang membekas di lidah dan juga hati mereka. Ada pula yang rela karena
penasaran, dan ada pula yang memang berniat untuk mencari dan menikmati
kecantikan suatu kota yang sesungguhnya dari kaca mata rakyat. Banyak legenda
kuliner yang berbentuk street food, atau
bermula dari streed food. Misalnya :
kalau di Jakarta dan sekitarnya ada Roti Bakar Eddy Blok M, Es Pocong di Depok,
Bubur Ayam Barito, Nasi Uduk Kebon Kacang, dll.
Photo taken from : makanankakilima.blogspot.com |
Bahkan, percaya atau tidak, ada juga
lho, tempat makan yang tadinya berbentuk warung makan pinggir jalan yang
kemudian berkembang menjadi rumah makan, tapi anehnya tempat makan ini justru
lebih ramai dulu ketika berbentuk street
food. Alasannya bisa beragam : faktor lokasi, pelanggan setia lama tidak
tahu kalau warung tersebut sudah pindah, atau… kecantikan yang serasa berubah?
Mungkin bukan karena rasanya, melainkan karena ketika kesederhanaan sudah
berganti, nilai kecantikan kok kayaknya tidak pas? Ibarat gadis cantik dari
desa yang polos tanpa riasan dan aksesoris, ketika gadis cantik ini memakai
rias wajah dengan merek terkemuka dan mahal, meskipun dia bertambah cantik, kok
sepertinya ada sesuatu yang hilang? Untuk penggemar setia yang sudah terkena
panah chemistry, tentunya hal itu
tidak berpengaruh dong? Kan sudah melekat di hati :) Nah, sekarang ada nggak tuh
kenangan lama yang membekas yang memanggil perutmu buat mampir? Semoga ketika
kamu berniat untuk setia, dia juga tetap setia dengan inner beauty nya. Pertahankan inner beauty mu, street food Indonesia, tetap original, sederhana, dan jaga kualitas serta kebersihan sajianmu supaya tetep 'ngangenin'.
No comments:
Post a Comment
Any comment, please?